Kriminalisasi dan Dekriminalisasi

OPINI, oleh Andi Sagita,.SH- PROSES KRIMINALISASI, Istilah "kriminalisasi" sering disalahpahami sebagai menjadikan orang sebagai tersangka. Padahal bukan itu maksudnya secara hukum.

Secara etimologis, kriminalisasi berasal dari kata bahasa Inggris criminalization, yang mempunyai padanan dalam bahasa Belanda criminalisatie.

Literatur hukum pidana materil mendefinisikan kriminalisasi sebagai, kebijakan negara dalam menetapkan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan terlarang (tidak melawan hukum) menjadi perbuatan terlarang atau tindak pidana (melawan hukum) dengan ancaman sanksi pidana tertentu (Salman Luthan: 1999).

Proses kriminalisasi demikian berlangsung di dalam lembaga pembuat undang-undang (DPR RI) atau pembuat peraturan daerah (DPRD).

Keluaran atau hasilnya berupa undang-undang (UU) atau peraturan daerah (Perda) yang memuat norma baru tindak pidana. Lembaga inilah yang berwenang menetapkan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana ke dalam UU dan Perda.

Proses kriminalisasi atau dikenal dengan istilah criminalization process merupakan suatu proses dimana suatu perbuatan yang mulanya tidak dianggap sebagai kejahatan atau tindak pidana kemudian dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang melarang perbuatan tersebut, maka perbuatan itu kemudian menjadi perbuatan jahat atau tindak pidana.

Proses kriminalisasi atau dikenal dengan istilah criminalization process merupakan suatu proses dimana suatu perbuatan yang mulanya tidak dianggap sebagai kejahatan atau tindak pidana kemudian dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang melarang perbuatan tersebut, maka perbuatan itu kemudian menjadi perbuatan jahat atau tindak pidana.

Proses kriminalisasi atau criminalization process harus dilakukan dengan peraturan perundang-undangan karena tidak ada kejahatan jika perbuatan tersebut tidak disebut sebagai perbuatan jahat atau tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kriminalisasi atau criminalization menjadikan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan kejahatan menjadi kejahatan atau tindak pidana.

Terhadap kriminalisasi, H. Mannheim memberikan pandangannya bahwa terdapat berbagai bentuk perbuatan anti sosial yang tidak dijadikan tindak pidana dan banyak diantaranya yang seharusnya tidak boleh dijadikan tindak pidana.

Hal ini dikarenakan 3 (tiga) alasan, yaitu:

1. Efisiensi dalam melaksanakan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan pidana banyak tergantung pada adanya dukungan dari masyarakat luas sehingga harus diselidiki apakah tentang perbuatan yang bersangkutan itu ada perbuatan yang sama dalam masyarakat.

2. Sekalipun ada sikap yang sama, maka harus diselidiki pula apakah tingkah laku yang bersangkutan merupakan tingkah laku yang penindakannya secara teknis sangat sulit atau tidak. Sebab apabila ini terjadi, maka akan menimbulkan manipulasi dalam pelaksanaannya.

3. Perlu diingat pula apakah tingkah laku yang bersangkutan sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak sesuai untuk dijadikan obyek hukum pidana dalam artian apakah nantinya tidak terlalu banyak mencampuri kehidupan pribadi atau individu.

PROSES DEKRIMINALISASI

Proses dekriminalisasi atau dikenal dengan istilah decriminalization process merupakan kebalikan dari proses kriminalisasi, hal mana proses dekriminalisasi adalah suatu proses dimana suatu perbuatan yang merupakan perbuatan jahat atau tindak pidana karena dilarang dalam peraturan perundang-undangan, kemudian pasal yang menyangkut perbuatan itu dicabut dari peraturan perundang-undangan.

Dengan dicabutnya dari peraturan perundang-undangan, maka perbuatan itu bukan lagi perbuatan jahat atau tindak pidana dan juga sanksi pidana terhadap perbuatan tersebut pun ikut juga dicabut dari peraturan perundang-undangan.

Perlu diketahui bahwa dalam proses dekriminalisasi tidak hanya kualifikasi pidana saja yang dihapuskan, akan tetapi sifat melawan hukum atau melanggar hukumnya juga ikut dihapuskan bahkan lebih dari itu penghapusan sanksi negatif tersebut tidak diganti dengan reaksi sosial lain seperti sanksi perdata maupun sanksi administrasi.

Dengan demikian dapat dikatakan proses dekriminalisasi merupakan suatu proses dimana perbuatan yang mulanya merupakan perbuatan jahat atau tindak pidana menjadi bukan perbuatan jahat atau tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi pidana. Adapun untuk dekriminalisasi dapat terjadi dengan 3 (tiga) cara, yaitu sebagai berikut:

1. Ketentuan pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh peraturan perundang-undangan yang baru atau peraturan lebih tinggi.

2. Ketentuan pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pengujian undang-undang.

3. Hakim tidak lagi menerapkan ketentuan pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan karena dirasa tidak lagi mencerminkan lagi rasa keadilan atau dengan kata lain ketentuan tersebut telah ketinggalan zaman (contra legem).
Adapun suatu proses dekriminalisasi dapat terjadi dikarenakan oleh beberapa alasan (Mahrus Ali: 245-246) seperti contoh berikut di bawah ini.

1. Suatu sanksi secara sosiologis merupakan persetujuan (sanksi positif) atau penolakan terhadap pola perilaku tertentu (sanksi negatif). Ada kemungkinan bahwa nilai-nilai masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap perilaku mengalami perubahan sehingga perilaku yang terkena sanksi-sanksi tersebut tidak lagi ditolak.

2. Timbulnya keraguan yang sangat kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan penetapan sanksi-sanksi negatif tertentu.
3. Adanya keyakinan yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksi-sanksi negatif tertentu sangat besar.

4. Sangat terbatasnya efektivitas dari sanksi-sanksi negatif tertentu sehingga penerapannya akan menimbulkan kepudaran kewibawaan hukum.
Salah satu contoh pasal yang di dekriminalisasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu ketentuan Pasal 534 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Hal mana dalam pasal tersebut disebutkan bahwa barang siapa yang memperagakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan di muka umum maka diancam dengan hukuman atau sanksi berupa pidana penjara.

Sedangkan dalam rangka pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia dimana alat kontrasepsi itu dianjurkan untuk digunakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), maka kemudian akhirnya mengakibatkan ketentuan pada Pasal 534 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) itu sampai saat ini tidak memiliki daya paksa.

Penulis : Andi Sagita, S.H.
Mahasiswa : Magister Hukum
Semester : III (Tiga)
Tugas Mata Kuliah : Kebijakan Hukum Pidana
Kampus : Universitas Islam Indragiri (UNISI)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel