Badan Retorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Dibutuhkan untuk Mewujudkan Asta Cita dan Menjaga Martabat Bangsa Indonesia


Oleh: Ir. M. Mardhiansyah, S.Hut., M.Sc., IPU.
OPINI- Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 120 tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove mengamanahkan bahwa BRGM melaksanakan tugas selama 4 (empat) tahun dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2024. Kurang dari 2 bulan lagi akan berakhir masa tugas BRGM tersebut.

Sejalan dengan Visi Misi Pemerintahan Probowo-Gibran berupa Asta Cita yang menjadi acuan kerja Kabinet Merah Putih, maka dipandang sangat penting dan potensial untuk memperpanjang masa tugas serta diperlukan perluasan kewenangan BRGM.

Salah satu dari 8 misi pemerintah Probowo-Gibran yang dikenal dengan nama Asta Cita mengamanahkan untuk “Memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru”. 

Perwujudan visi tersebut sangat didukung oleh kondisi gambut dan mangrove yang prospektif karena sebagian besar kawasan Indonesia khususnya yang potensial untuk mewujudkan visi tersebut adalah Gambut dan mangrove.

Tidak hanya dukungan untuk swasembada pangan dan energi, ekonomi hijau dan ekonomi biru akan dapat diterapkan dan dinikmati manfaatnya manakala Gambut dan Mangrove dalam kondisi baik. Pada misi Asta Cita yang lainnya secara langsung maupun tidak langsung difasilitasi oleh ekositem gambut dan mangrove yang lestari.

Pembukaan UUD 1945 mengamanahkan bahwa pemerintah Negara Indonesia diantaranya harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Konstitusi Indonesia mengamanahkan bahwa negara harus menjamin kehidupan dan lingkungan yang layak bagi warga negaranya. Hal tersebut menjadi dasar komitmen Indonesia untuk pengendalian perubahan iklim. 

Kebijakan menjalankan pembangunan dengan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim melalui pengurangan emisi nasional dari sumbernya dengan menerapkan pengelolaan hutan dan lingkungan yang lestari khususnya Gambut dan Mangrove adalah sebuah kewajiban yang harus dijalankan sebagai amanah konstitusi dengan menjunjung tinggi kehormatan dan martabat bangsa, bukan semata sebuah komitmen tata hubungan internasional.

Paris Agreement telah menyerukan komitmen negara-negara di dunia untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim dengan mengurangi emisi nasional dari sumbernya, yang disebut sebagai Nationally Determined Contribution (NDC).

Melalui NDC-nya, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) tanpa syarat menggunakan skenario business as usual (BAU) sebesar 29% pada tahun 2030 dan secara bersyarat hingga 41% menggunakan dukungan pendanaan dari pihak internasional. Restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove memiliki peran sangat penting dalam upaya mewujudkan komitmen internasional tersebut.

Gambut dan mangrove harus dipandang sebagai martabat bangsa yang harus dijaga kehormatannya dalam tata hubungan internasional. Berbagai komitmen dan kesepakatan Internasional juga telah disepakati oleh Indonesia seperti Paris Agreement dan lainnya untuk dijalankan dengan penuh komitmen dan dedikasi tinggi sebagai reputasi Republik Indonesia. 

Gambut dan mangrove merupakan ruang hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia khususnya Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang harus difasilitasi kedaulatan MHAnya beserta wilayah adatnya merupakan kawasan hutan yang sebagian besar berada pada ekosistem gambut dan mangrove. 

Kegagalan Indonesia mengelola gambut dan mangrove akan jadi senjata ampuh asing untuk melemahkan daya tawar Indonesia dalam tata hubungan dan ekonomi global karena dianggap tidak menjalankan pembangunan yang ramah lingkungan serta tidak menfasilitasi MHA sampai persoalan hak asasi manusia. 

Kondisi gambut dan mangrove yang lestari dan prospektif tidak hanya memfasilitasi lingkungan hidup yang layak, namun memfasilitasi potensi ekonomi yang berkontribusi pada penerimaan APBN serta memfasilitasi fungsi sosial dalam hal kehidupan masyarakat khususnya martabat kebudayaan dan masyarakat adat.

Kerja restorasi dan rehabilitasi bukanlah pekerjaan yang insidentil dan parsial, namun merupakan pekerjaan yang berkesinambungan dan kolektif melibatkan para pihak. Restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove, untuk mewujudkan kondisi Gambut dan Mangrove yang prospektif diperlukan upaya percepatan dan perhatian khusus yang melibatkan banyak pihak. 

Percepatan restorasi gambut dan mangrove membutuhkan Badan yang selama ini dijalankan BRGM RI untuk mengkoordinasikan dan menyelaraskan berbagai pihak bukan semata di bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kelautan dan Perikanan, namun juga membutuhkan penyelarasan dengan sektor atau K/L lainnya seperti Kementerian PU, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, kementerian Perdagangan, dan K/L lainnya.

Gambut dan mangrove yang harus direstotasi dan dikelola tidak hanya yang berada pada kawasan hutan yang menjadi tanggung jawab Kementerian kehutanan, namun juga berada diluar kawasan hutan yang bukan kewenangan Kementerian Kehutanan, yang dapat berupa kewenangan Kementerian ATR/BPN atau Kementerian Kelautan dan Perikanan atau Kementerian Pertanian serta K/L lainnya. 

Salah satu kendala dihadapi di lapangan dalam rehabilitasi mangrove adalah sangat dibutuhkannya Alat Pemecah Ombak (APO) untuk mendukung keberhasilan penanaman mangrove, hal tersebut merupakan tupoksi dan kewenangan Kementerian PU, demikian juga kendala di lapangan dalam restorasi mangrove akibat keterbatasan kewenangan dan tupoksi antar K/L. Oleh karena itu kerja percepatan restorasi gambut dan mangrove harus dijalankan oleh Badan yang lintas K/L langsung dibawah koordinasi Presiden agar memperlancar koordinasi dan mengatasi sekat batas kewenangan antar K/L.

Peran dan posisi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove ini sangat strategis dalam mereduksi perdebatan kewenangan pengelolaan khususnya Mangrove yang merupakan “jembatan” antara daratan dan perairan khususnya laut. Masa kerja yang dimandat pada Badan tersebut perlu dipertimbangkan tidak terbatas 5 tahun, namun disesuaikan dengan rotasi pertumbuhan mangrove atau beban restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove untuk dipulihkan yang mungkin membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun. Namun demikian sesuai aturan yang berlaku, masa jabatan Pengelola Badan tersebut menyesuaikan dengan priodesasi masa jabatan. Hal tersebut seperti yang dijalankan pada lembaga ad hock non pemerintah lainnya seperti KPK dan lainnya. 

Beban tanggung jawab gambut dan mangrove yang harus direstorasi cukup besar. Hal tersebut dikarenakan begitu luasnya kawasan gambut dan mangrove di Indonesia dan sebagian besar mengalami kerusakan atau degradasi serta alih fungsi sehingga dibutuhkan upaya restorasi dan rehabilitasi yang tentunya tak bisa dilakukan dalam waktu jangka pendek dan kerja parsial.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2022 mengungkapkan 206.935 hektare ekosistem gambut berstatus rusak sangat berat berdasarkan inventarisasi pada 2022. Berdasarkan hasil inventarisasi pada 2022 untuk lahan gambut, ditemukan bahwa 4,02 juta hektare atau 16% dari ekosistem gambut dalam kondisi tidak rusak, ekosistem gambut yang berstatus rusak ringan seluas 15,85 juta hektare (65,45%), rusak sedang 3,08 juta hektare (12,74%), rusak berat 1,05 juta hektare (4,35%) dan rusak sangat berat 206.935 hektare (0,85%). Luas ekosistem gambut Indonesia mencapai 24,66 juta hektare, yang terdiri atas 865 kesatuan hidrologis gambut (KHG).

Berdasarkan pemetaan mangrove nasional tahun 2021, luas mangrove eksisting seluas ±3.364.080 Ha, dan luas potensi habitat mangrove seluas ±756.183 Ha.  Hal ini berarti bahwa luas ekosistem mangrove di Indonesia dapat mencapai ±4.120.263 ha, yang terdiri dari luas area mangrove eksisting (82%) dan potensi habitat mangrove (18%). Luas mangrove eksisting tersebut dapat dirinci menurut kelas kerapatan tajuk lebat, sedang dan jarang.

Terdapat potensi habitat mangrove di Indonesia, seluas ±756.183 ha yang terdiri dari berbagai kondisi tutupan lahan yaitu; area terabrasi, lahan terbuka, mangrove terabrasi, tambak dan tanah timbul. Diantara berbagai kondisi tutupan lahan tersebut, yang dominan adalah tambak sebesar ± 84% dari potensi habitat mangrove, disusul oleh tanah timbul sebesar ± 7%.

Keberhasilan pelaksanaan kegiatan restorasi ikut menentukan keberhasilan dalam menurunkan emisi dari kebakaran gambut yang menjadi sumber emisi gas rumah kaca nasional terbesar. Emisi dari kebakaran gambut meningkat secara signifikan pada tahun dengan kemarau panjang yang seringkali berasosiasi dengan kejadian El Nino.

Program restorasi gambut harus menghasilkan lahan gambut yang basah dan diatasnya terdapat tutupan vegetasi yang memadai untuk kesinambungan pasokan bahan organik pembentuk gambut. Upaya restorasi oleh BRGM menggunakan tiga bentuk intervensi strategi 3R (Rewetting, Revegetation, dan Revitalization) meliputi kegiatan pembasahan kembali gambut yang terlanjur kering (Rewetting) melalui pembangunan infrastruktur pembasahan gambut (sekat kanal, sumur bor, dan penimbunan kanal), pemulihan tutupan lahan (Revegetation) melalui pembangunan demplot-demplot rehabilitasi lahan gambut, dan revitalisasi mata pencaharian masyarakat (Revitalization of local livelihood).

Secara umum kebijakan terhadap mangrove merupakan perlindungan dan rehabilitasi. Dalam hal kondisi vegetasi rapat atau sedang maka dianggap sebagai ekosistem mangrove dengan kondisi baik maka kebijakan pengelolaan mangrove yang dapat diterapkan adalah dengan cara mempertahankan dan memanfaatkan secara lestari. 

Kapasitas mangrove dalam mengurangi emisi dari sektor lahan (di luar kawasan hutan) sangat potensial. Potensi blue carbon yang cukup tinggi pada mangrove yang meliputi; above ground biomass, soil mangrove maupun below ground biomass dapat didalami lebih lanjut.

Berbagai kerja baik dan capaian yang telah didedikasikan BRGM RI patut diapresiasi dan beberapa target yang belum tercapai perlu disikapi secara bijak untuk ditelisik dan dilakukan perbaikan dalam percepatan pencapaian target. 

Kegiatan restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove ke depannya harus dilaksanakan secara intensif dengan pedekatan Silvikultur Intensif atau Intensifikasi Pertanian dengan mengaplikasikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kolaborasi dan sinergitas para pihak sangat dibutuhkan untuk perpanjangan masa tugas BRGM dalam menjalankan peran yang strategis untuk memfasilitasi terwujudnya Asta Cita, menjaga martabat bangsa dan menjalankan amanah konstitusi serta sebagai tugas mulia memulihkan gambut dan mangrove Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. 

Penulis : Ir. M. Mardhiansyah, S.Hut., M.Sc., IPU., Dosen Jurusan Kehutanan FP Universitas Riau

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel